Hilirisasi Mineral dan Dampaknya terhadap Permintaan Green Steel di Indonesia

Hilirisasi Mineral dan Dampaknya terhadap Permintaan Green Steel di Indonesia

Hilirisasi industri mineral tidak hanya membuka peluang ekspor bernilai tambah, tetapi juga mendorong kebutuhan terhadap bahan baku berkualitas tinggi seperti green steel. Bagi Liwa Supriyanti, Direktur Gunung Prisma, transformasi ini harus dijawab dengan kesiapan teknologi, kemitraan, dan strategi produksi baja yang selaras dengan agenda dekarbonisasi nasional.

Hilirisasi Mineral: Pendorong Pertumbuhan Industri Dalam Negeri

Sejak dicanangkannya kebijakan hilirisasi oleh pemerintah Indonesia, nilai ekspor produk olahan mineral seperti nikel, bauksit, dan tembaga meningkat signifikan. Data Kementerian ESDM menunjukkan bahwa ekspor produk nikel olahan melonjak dari USD 4,6 miliar pada 2020 menjadi lebih dari USD 30 miliar pada 2024, seiring bertambahnya jumlah smelter di dalam negeri.

 

Namun, dibalik angka pertumbuhan itu, ada kebutuhan besar terhadap bahan baku bangunan dan manufaktur untuk mendukung pembangunan smelter, pabrik baterai kendaraan listrik (EV), hingga fasilitas energi baru dan terbarukan. Di sinilah peran industri baja menjadi sangat krusial.

Permintaan Baja Khusus dan Rendah Karbon

Pembangunan pabrik pengolahan mineral dan fasilitas hilir lainnya tidak bisa mengandalkan baja konvensional. Diperlukan baja dengan spesifikasi khusus, seperti ketahanan terhadap suhu tinggi, korosi, dan tekanan, serta—yang semakin penting—jejak karbon rendah.

 

Liwa Supriyanti menyoroti bahwa ini adalah peluang bagi produsen baja nasional untuk naik kelas, bukan hanya dari segi volume, tetapi juga dari segi kualitas dan kredibilitas lingkungan. “Hilirisasi menciptakan pasar baru. Tapi pasar ini tidak bisa kita masuki dengan pendekatan lama,” ujarnya dalam sebuah wawancara industri yang dimuat di SGF Industry.

Sinergi antara Green Steel dan Agenda Hilirisasi

Korelasi antara hilirisasi dan green steel bukan kebetulan. Justru, keduanya saling memperkuat. Pabrik baterai EV dan smelter modern saat ini mulai menerapkan kebijakan keberlanjutan yang ketat, termasuk standar bangunan rendah emisi dan rantai pasok bersih.

 

Sebagai contoh, PT Indonesia Tsingshan Stainless Steel di Morowali mulai menjajaki penggunaan baja dari proses Electric Arc Furnace (EAF) yang lebih rendah emisi dibandingkan blast furnace. Demikian pula, proyek Smelter PT Freeport di Gresik, yang ditargetkan sebagai fasilitas pengolahan tembaga terbesar di Asia Tenggara, telah menggandeng penyedia bahan bangunan yang mendukung kredensial ESG.

 

Baja bukan hanya penopang struktur, tapi menjadi bagian dari jejak karbon proyek secara keseluruhan. Maka, green steel menjadi pilihan rasional sekaligus strategis.

Gunung Prisma dan Strategi Penyediaan Baja Hijau untuk Hilirisasi

Gunung Prisma, di bawah arahan Liwa Supriyanti, telah memulai transformasi teknologi dan operasional untuk menangkap peluang ini. Perusahaan tengah menjajaki kemitraan dengan penyedia energi bersih lokal untuk menurunkan emisi dalam proses produksi, serta menerapkan sistem pelacakan karbon per batch produk.

 

Dalam artikelnya Transformasi Industri Baja: Catatan Profesional dari Liwa Supriyanti, ia menegaskan bahwa transformasi industri baja bukan hanya tentang modernisasi, tetapi tentang sinkronisasi antara kebutuhan strategis nasional dan kesiapan rantai pasok industri.

Kolaborasi Lintas Industri Adalah Kunci

Transformasi ini tidak bisa dikerjakan oleh industri baja saja. Diperlukan sinergi dengan:

 

 

  • Pengembang kawasan industri hijau (seperti KEK Hijau di Kalimantan)
  • Proyek hilirisasi EV
  • Sektor logistik dan konstruksi berkelanjutan
  • Pemerintah daerah yang mengatur tata ruang industri rendah karbon
 

 

Liwa Supriyanti menekankan bahwa pendekatan sistemik dan kolaboratif akan membuat Indonesia tidak hanya menjadi pengolah mineral, tetapi juga pemimpin dalam pembangunan industri hijau di Asia Tenggara.

Membangun Indonesia dari Hulu hingga Hilir

Hilirisasi mineral adalah peluang sejarah. Tapi untuk menjadi kekuatan industri yang sejati, Indonesia harus membangun semua fondasinya, termasuk bahan bangunan dengan visi keberlanjutan. Green steel menjadi kunci untuk menjamin bahwa pertumbuhan industri tidak merusak lingkungan, tetapi justru mempercepat transisi hijau nasional.


Bagi Liwa Supriyanti, keberhasilan hilirisasi akan ditentukan bukan hanya oleh nilai tambah ekspor, tetapi juga oleh kemampuan kita menyusun rantai pasok domestik yang kuat, bersih, dan berdaya saing global. Industri baja harus berada di garis depan perubahan itu.