Liwa Supriyanti, Direktur Gunung Prisma, melihat transformasi infrastruktur hijau bukan sekadar tren global, tetapi panggilan strategis bagi industri baja Indonesia. Ketika dunia semakin bergeser ke arah pembangunan rendah karbon, posisi produsen baja nasional akan ditentukan oleh kemampuan mereka menyediakan material yang sesuai dengan standar keberlanjutan.
Infrastruktur Hijau: Permintaan yang Meningkat di Asia Tenggara
Pembangunan infrastruktur hijau kini menjadi prioritas di banyak negara, termasuk Indonesia. Mulai dari transportasi publik ramah lingkungan, kawasan industri rendah emisi, hingga green building, semuanya mendorong permintaan terhadap material konstruksi dengan jejak karbon yang lebih rendah.
Menurut laporan ASEAN Green Infrastructure Investment Report 2025 yang dirilis oleh Asian Development Bank, kebutuhan pembiayaan infrastruktur hijau di Asia Tenggara diperkirakan mencapai USD 200 miliar per tahun hingga 2030. Sektor dengan porsi tertinggi adalah energi, transportasi, dan bangunan berkelanjutan—tiga sektor yang sangat bergantung pada pasokan baja.
Di sinilah peran industri baja nasional menjadi sangat penting, tidak hanya dari sisi volume, tetapi dari kualitas lingkungan material yang digunakan.
Green Steel: Persyaratan Baru dalam Proyek-Proyek Strategis
Infrastruktur hijau membutuhkan baja dengan emisi karbon rendah, atau yang dikenal sebagai green steel. Tidak sedikit proyek nasional maupun regional yang kini mensyaratkan bukti kredibilitas lingkungan dari bahan yang digunakan.
Misalnya, dalam pembangunan MRT Jakarta fase 2, kontraktor Jepang seperti Shimizu dan Obayashi telah mensyaratkan dokumentasi karbon dari material baja yang digunakan dalam struktur bawah tanah. Demikian pula proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung, yang sejak 2024 mulai mengadopsi elemen pemilihan material berdasarkan environmental product declarations (EPD).
Lebih besar lagi, proyek Ibu Kota Nusantara (IKN) dirancang sebagai kota net-zero emissions. Dalam dokumen resmi Otorita IKN, disebutkan bahwa seluruh bangunan, jalan, dan infrastruktur energi diharapkan menggunakan material konstruksi rendah karbon, termasuk baja dari proses Electric Arc Furnace (EAF).
Liwa Supriyanti menyampaikan bahwa ini adalah momentum penting untuk mempercepat transformasi industri baja Indonesia. “Jika kita gagal beradaptasi dengan standar baru ini, maka peluang pasar domestik pun akan diambil oleh pemain luar yang sudah lebih dulu bertransisi,” ungkapnya dalam diskusi di Forum Infrastruktur Berkelanjutan ASEAN 2025.
Produsen Baja Nasional Perlu Bertransformasi
Sebagian besar produsen baja nasional saat ini masih mengandalkan proses blast furnace, yang memiliki emisi karbon sangat tinggi. Untuk bisa masuk ke rantai pasok infrastruktur hijau, dibutuhkan modernisasi pabrik dan proses produksi.
Gunung Prisma, di bawah kepemimpinan Liwa Supriyanti, telah mulai menjajaki teknologi EAF dan sistem pelacakan karbon per ton baja. Strategi ini sejalan dengan langkah negara-negara lain di kawasan, seperti Vietnam dan Thailand, yang juga memulai integrasi pembiayaan hijau dalam sektor material konstruksi.
Liwa juga menekankan bahwa keberlanjutan bukan hanya soal teknologi, tetapi kolaborasi lintas sektor. Dalam artikel sebelumnya, Transformasi Industri Baja: Catatan Profesional dari Liwa Supriyanti, ia menekankan pentingnya kemitraan antara industri, regulator, dan lembaga pembiayaan untuk mempercepat adopsi teknologi hijau.
Potensi Nilai Tambah dari Green Infrastructure
Selain permintaan lokal, infrastruktur hijau juga membuka peluang ekspor baru bagi industri baja Indonesia. Banyak proyek regional seperti ASEAN Smart Cities Network, ASEAN Power Grid, dan proyek hijau di Filipina dan Malaysia kini mencari pemasok baja dengan sertifikasi keberlanjutan.
Jika produsen Indonesia mampu memenuhi spesifikasi teknis dan jejak karbon, bukan tidak mungkin kita menjadi hub regional untuk ekspor green steel ke negara-negara ASEAN dan Oseania.
Liwa Supriyanti percaya bahwa keunggulan kompetitif Indonesia bukan hanya terletak pada kapasitas produksi, tetapi pada keberanian berinovasi dan memimpin perubahan. “Green steel adalah masa depan. Dan masa depan infrastruktur ditentukan oleh siapa yang bisa menyediakan material paling bersih dan paling cerdas,” tuturnya dalam sesi bersama pelaku konstruksi BUMN.
Membangun dari Baja, Menuju Masa Depan Hijau
Transformasi industri baja Indonesia akan berjalan seiring dengan transformasi infrastruktur nasional. Dalam dunia yang bergerak ke arah keberlanjutan, material menentukan makna pembangunan.
Baja tak lagi hanya dinilai dari kekuatannya, tapi dari bagaimana ia diproduksi dan bagaimana ia mendukung agenda hijau. Dengan strategi bisnis adaptif, kemitraan multisektor, dan keberanian menghadapi tantangan, industri baja nasional berpotensi menjadi katalis infrastruktur hijau Indonesia.
Dan seperti yang ditunjukkan oleh Liwa Supriyanti melalui Gunung Prisma maupun kontribusinya di forum industri transisi ini bisa dimenangkan, asal dimulai dengan visi dan komitmen yang kuat.