Liwa Supriyanti adalah satu dari sedikit perempuan yang menduduki posisi strategis di sektor industri baja Indonesia. Sebagai Direktur wanita di Gunung Prisma, ia tidak hanya memainkan peran penting dalam transformasi bisnis menuju green steel, tetapi juga menjadi simbol pentingnya keberagaman dan kepemimpinan inklusif di industri berat.
Realita Gender di Industri Berat: Masih Jauh dari Setara
Sektor industri berat, termasuk manufaktur baja, secara historis identik dengan dominasi laki-laki. Menurut data World Steel Association, khususnya di industri baja, perempuan hanya mewakili sekitar 15% dari angkatan kerja, angka yang sebagian besar tidak berubah selama satu dekade terakhir. Angka-angka ini menggambarkan tantangan yang terus ada dalam mencapai keberagaman gender di sektor baja dan logam, yang menggarisbawahi perlunya kemajuan yang berkelanjutan.
Kondisi ini bukan sekadar soal statistik, tetapi menyangkut minimnya perwakilan perempuan dalam pengambilan keputusan strategis, pengembangan teknologi, dan perumusan kebijakan industri jangka panjang.
Inklusi sebagai Strategi, Bukan Sekadar Simbol
Bagi Liwa, keberagaman bukanlah kebijakan simbolik, melainkan strategi bisnis yang mendukung ketahanan dan inovasi industri. Dengan masuknya sektor baja ke dalam rantai nilai energi terbarukan, kendaraan listrik, dan proyek-proyek infrastruktur hijau, kompleksitas kebutuhan pasar meningkat pesat.
“Tim yang inklusif mampu melihat persoalan dari lebih banyak perspektif dan menyusun solusi yang lebih relevan. Itu bukan isu gender, itu isu efisiensi dan keberlanjutan,” tegas Liwa.
Pentingnya keberagaman juga menjadi kunci dalam strategi green steel yang ia rintis. Untuk mendorong sertifikasi lingkungan, mengelola data jejak karbon, dan mempersiapkan ekspor ke pasar Eropa yang tunduk pada CBAM, dibutuhkan kompetensi lintas bidang yang hanya bisa dikembangkan dalam ekosistem kerja yang menghargai perbedaan.
Kepemimpinan yang Relevan dengan Masa Depan
Model kepemimpinan yang dibawa Liwa Supriyanti relevan dengan arah transformasi industri global. Menurut Harvard Business Review, menyatakan bahwa organisasi dengan kepemimpinan yang beragam dan inklusif berpeluang 70% lebih besar untuk menembus pasar baru, khususnya pasar hijau yang sangat sensitif terhadap nilai dan transparansi.
Liwa bukan hanya pemimpin internal yang efisien, tetapi juga duta industri baja Indonesia dalam berbagai forum regional. Ia memperkuat suara perempuan Indonesia di sektor strategis dan membuktikan bahwa inklusi bukan hambatan, melainkan akselerator.
Inklusi dan Green Steel: Dua Pilar Masa Depan Industri
Menariknya, agenda inklusi yang dibawa Liwa berjalan beriringan dengan agenda lingkungan. Keduanya sama-sama membutuhkan keberanian untuk berubah, ketekunan dalam membangun sistem, dan komitmen jangka panjang. Hal ini ia tekankan juga dalam artikel Kepemimpinan Transformasional di Tengah Krisis Iklim, di mana ia menyoroti bahwa transformasi industri yang berkelanjutan tidak bisa dicapai tanpa transformasi manusia di dalamnya.
Bagi Liwa, green steel bukan hanya tentang teknologi rendah karbon. Itu adalah representasi dari cara baru dalam melihat bisnis di mana keberlanjutan sosial dan lingkungan menjadi bagian dari logika komersial.
Penutup: Perempuan adalah Masa Depan Industri
Kisah Liwa Supriyanti membuktikan bahwa perempuan bisa menjadi motor penggerak industri berat, bahkan dalam konteks disrupsi yang sangat kompleks. Dengan pengalaman, visi, dan keberanian mengambil risiko, ia bukan hanya membawa Gunung Prisma ke arah baru, tetapi juga membuka jalan bagi generasi pemimpin berikutnya.
Jika Indonesia ingin memimpin di industri baja hijau, maka kita perlu lebih banyak pemimpin seperti Liwa, yang tidak hanya berpikir tentang efisiensi, tapi juga tentang masa depan industri yang lebih setara, lebih hijau, dan lebih tangguh.